Sabtu, 08 Agustus 2009

TRI GUNAS

“Ketiga sifat-sifat
alami yaitu Sattvas (baik dan suci), Rajas (antara baik dan buruk), Tamas (kekotoran,
keburukan) lahir dari Prakirti (ilusi maya nan duniawi), mereka bertiga mengikat
erat-erat Sang Atman (Yang Tidak Terbinasakan) yang bersemayam di dalam raga”.




Bhagawat Gita XIV, sloka 5



Sering para sishya maupun rekan-rekan baik dari golongan Dharma maupun agama-agama
lain bertanya apakah di Hindu Dharma ada fatwa-fatwa haram, halal dsb? Saya
jawab “Tidak ada! Yang ada adalah keterangan-keterangan sifat-sifat alami
yang disebut Sattva, Rajas dan Tamas, seperti yang diuraikan Bhagawat –
Gita di bab XIV,” namun keterangan-keterangan ini harus dijadikan patokan
dan pedoman untuk umat sedharma dalam berprilaku sehari-hari termasuk merokok,
berjudi, menipu dst. Semua pedoman dikembalikan melalui proses pembelajaran
diri, bhisama atau fatwa memang diperlukan! Tetapi tanpa pembelajaran dan kesadaran
masing-masing semua terasa hampa dan sia-sia. Toh pedoman harus dimulai dari
para pendeta yang berjubah putih-suci, bukan dari yang sehari-hari menonton
perilaku mereka.


Sabda sahabatku Pedanda
Sebali: “PHDI belum perlu ikut-ikutan latah melarang merokok, Triguna
saja umat kita belum faham,” proses pembelajarannya mungkin sedang berjalan
“slow but sure”.


Tanpa pengetahuan
akan faham-faham Triguna, maka umat kita dan turunannya mungkin masih harus
siap bersahabat dengan judi, penyakit-penyakit yang mematikan seperti hipertensi,
TBC, jantung, diabetes, dsb. Apa yang dapat dibanggakan seorang Hindu kalau
berpenyakitan? Kalau raga saja sakit-sakitan apa mungkin jiwanya sehat? Maka
hadirlah upacara-upacara non sattvik seperti pembantaian hewan, tajen, berjudi,
tawuran antar warga dan umat, dan semua itu akibat dari “pembodohan agama
yang berkepanjangan!”


Sesuai sabda-sabda
Sri Khrisna kepada Rsi Abhiyasa (Wiyasa) yang tertuang sebagai dialog antara
Krishna-Arjuna, maka ketiga gunas ini lahir dari Prakirti yaitu rekayasa materi-dunia
Nya yang memang dihadirkan dominan di dalam diri kita masing-masing. Seandainya
sifat-sifat ini diberdayakan secara positif, maka hasilnya loka-loka yang menakjubkan,
seandainya dipergunakan secara negatif maka si pelaku melaju ke neraka atau
kehidupan-kehidupan yang lebih merana. Di atas kedua upaya itu, sabda Krishna,
barang siapa mampu melewati ketiga guna ini, akan mendapatkan “Air abadi
dan penyatuan dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa)”.


Apakah Sattva itu?
Konon sattva dikategorikan sebagai unsur-unsur kesucian dan kemurnian atau pencerahan
kearah spiritual yang bersangkutan. Namun walau disebut-sebut kemurnian toh,
sifat ini dapat mengikat diri kita kearah kebodohan (awidya) dan “ego
yang positif “ yang malah menjerat diri kita sendiri, Penyucian diri yang
berlebih-lebihan merubah seorang tersebut menjadi ortodok (fanatik dan melajulah
ia ke dalam siddhi (kesesatan akibat kesaktian dan salah persepsi), Semua ini
lalu membuat seorang itu terikat erat pada perilaku kebaikan-kebaikannya tetapi
tidak membuatnya berorientasi kepada Yang Maha Esa secara murni, padahal sifat
dasar mereka ini seharusnya sattvik (suci, bersih), demikian uraian almarhum
resi T.L Vaswani.

Contohnya di dunia Barat, terdapat banyak ilmuwan-ilmuwan hebat dengan prilaku
sattvik, tetapi tujuan hidup dan riset-riset mereka hanya terpusat pada ilmunya
saja secara ilmiah. Konsep Tuhan spiritual tidak ada dalam benak mereka. Sebaliknya
di Timur ilmu - pengetahuan adalah anugrahNya yang tidak terbatas, jadi masih
banyak manusya-manusya sattvik melepaskan ikatan-ikatan dunia, materi dsb untuk
“back to basic” mencari penerangan Ilahi (Bhagawatam). Mereka-mereka
yang non pamrih ini oleh guru resi T.L Vaswani disebut mulia karena unsur-unsur
sattvik bagi mereka hanyalah sekedar alat-alat belaka bukan masalah apalagi
harus terikat.

Sedangkan sifat rajas adalah pancaran dari energi, dinamisme, mobilitas, yang
berarti berjuang penuh dengan rasa ingin tahu akan hidup dan pelaksanaan hidup
ini, namun sering jatuhnya malah tidak pernah terpuaskan dengan segala aktivitas
dan hasil-hasilnya. Dengan kata lain rajas yang tidak terkendali adalah anak
dari nafsu-nafsu kita sendiri. Akhirnya jiwa-raga terikat erat-erat ke Sang
Prakirti! Konon rajas pada seseorang dapat ditandai oleh kegelisahan internal
dan eksternal. Sifat-sifat amat aktif, ambisius, demi pemuasan ego, nafsu, hasrat
duniawinya, menunjukkan rajas sedang dominan dalam dirinya.

Sebenarnya ia mungkin saja orang baik dan bertanggung jawab bagi diri dan lingkungannya,
namun ia lupa tujuan kerja keras adalah untuk dan demi Sang Pencipta, bukan
untuk kekurangan-kekurangannya: ambisi pribadi, dan tujuan-tujuan ego yang positif
atau negatif. Namun kalau dinamisme dan keuletan rajasnya diolah tanpa pamrih
maka segala usaha-usahanya berubah menjadi yagna (pengorbanan spiritual bagi
YME), ia tidak memerlukan agni hotra, dsb lagi! Hotranya adalah diri dan nafsu-nafsunya
yang terkendali tanpa pamrih. Sebaliknya sifat-sifat tamas (kekotoran) bukanlah
energi positif tetapi cenderung menjadi energi negatif yang berpolusi tinggi
bagi diri dan sekitarnya, tamas jauh dari kebersihan jiwa-raga apalagi kesucian.
Tamas aktif sekali dengan sifat-sifat kemalasan, ilusi-ilusi kosong dan awidya
yang berkepanjangan! Inilah kuasa tamas pada diri seseorang yang jelas terikat
erat erat.

Sering sekali mereka-mereka yang berada di bawah kendali tamas berprilaku ibarat
binatang-binatang buas yang kelaparan, ia memenuhi hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu
dengan segala cara. Ia malas berfikir dan bertindak secara positif, acuh tak
acuh dan destruktif pada diri dan sekitarnya. Toh, Yang Maha Pengasih masih
membuka jalan baginya kearah yang baik., melalui upaya-upaya dharma - bakti
dan untuk itu diperlukan mereka-mereka yang bergelar satvik, resi, pedanda,
juga pandita, bhujangga, pemangku dsb untuk menuntun mereka secara aktif (rajas)
plus terarah positif (satvas). Gabungan kedua unsur ini yaitu dinamika dan kesucian
pasti akan menghasilkan sesuatu yang positif. Untuk itu harus dimulai dengan
bhisama-bhisama satvik sebagai pedoman dan lalu ditambah proses pembelajaran
yang aktif demi lestarinya dharma itu sendiri. Bukankah Sang Surya menerangi
dan Sang Bayu bertiup juga di antara rerumputan liar dan semak belukar yang
berada di bawah pepohonan besar?

Lupakanlah pahala-pahala satvas dan rajas, berfokuslah ke bumi jangan ke sorga
- neraka yang entah hadir dimana? Kuasailah dan fahami cara-cara kerja sattvas,
rajas dan tamas, dari guru-guru spiritual yang handal, agar dapat melihat dengan
jelas, benar dan secara realitas. Ini disebut logika duniawi dan spiritual sekaligus.
Orang yang sadar ini akan masuk ke suatu dimensi yang lain, kata Krishna, yaitu
lepas dari kematian, kehidupan, usia tua, penderitaan dsb karena telah meneguk
(“air kehidupan”) yang abadi (widya dalam amerta). Bagi seseorang
yang semacam ini ke tiga gunas hanyalah jembatan kearah pancaran kasih Yang
Maha Esa, ia yang sudah “menyebrangi” jembatan-jembatan ini (ketiga
gunas), malahan mampu mengendalikan segala “spare-parts” sang jembatan,
karena telah menyatu dan memahami cara-cara kerja sang jembatan!

Konon guru selanjutnya berwacana, bahwasanya manusya agung yang telah tersadarkan
ini berubah menjadi “majikan” yang mampu menguasai bahkan memperalat
sifat-sifat alam ini, tanda-tanda dan ciri-cirinya adalah :

1. Ia bersifat sama rata kepada semua sifat-sifat gunas baik yang hadir di dalam
dirinya sendiri maupun di dalam orang-orang lain. 2. Ia tidak terusik oleh efek
dan dampak-dampak karma baik maupun buruk diri sendiri dan orang-orang lain.


3. Baginya setiap unsur dsb adalah sama saja, ia bersikap sama rata kepada suka-duka,
panas-dingin, teman-musuh, penghormatan-penghinaan, cinta-benci, dsb. Emas atau
loyang sama saja baginya, sama-sama ciptaan sederajat dari Sang Pencipta tidak
ada yang lebih mulia atau lebih hina (baca Bhagawat-Gita)

4. Ambisi tidak lagi eksis dalam dirinya, setiap pekerjaannya telah terlebur
sebagai dharma-bhakti ke Yang Maha Esa, kadar dan mutunya juga sama saja, tidak
ada pendosa atau yang agung, yang ada hanya Dia Semata dan segala ciptaan-ciptaanNya
dan berbagai improvasi dan nada-nadaNya.


Lalu apa saja upaya-upaya
seseorang agar dapat melampaui ke tiga gunas ini dan menyatu denganNya? Konon
guru bersabda lakukanlah pengabdian-pengabdian terus menerus tanpa henti dan
tanpa pamrih, mengabdilah padaNya dengan kasih-nan-tulus, bukan melalui “business
of God”, dan lambat laun dikau akan larut menjadi nol (0) kecil yang melebur
ke nol besar. Proses ini disebut Atma-Swarupa, bersatunya secara identik Sang
Jiwa dengan Sang Pemilik Jiwa (Atman-Brahman).

“Karena Akulah tempat bersemayam Sang Brahman, Air Kehidupan Abadi yang
tidak pernah ada habis-habisnya, Akulah fondasi dari Kebenaran nan abadi dan
sumber dari Anugrah-nan-tanpa akhir”.

(Bhagawat – Gita XIV, sloka 27)

Yang Maha Pencipta, disebut apa juga nama dan asal-usulnya adalah Keabadian
itu sendiri, Dharma dan Sang Dharma itu sendiri, dan Wara Nugraha yang tidak
pernah berakhir, tidak sekarang tidak juga nanti, Ia adalah Berkah Nan Hakiki.
Om Shanti Shanti Om. Om Tat Sat.



Mohan M.S

di ShantiGriya Ganesha Pooja,

Cisarua


Tidak ada komentar:

Posting Komentar