Kamis, 13 Agustus 2009

Korelasi Bumi dan Manusia

Terdorong oleh
konsepsi-konsepsi tertentu dalam agama-agama tertentu maka banyak diantara kita
yang terpengaruh dengan konsep bahwasanya manusya adalah “ciptaan yang
paling mulia” diatas muka bumi ini, karena berbeda secara fisik, intelektual,
buddhi dan kesadarannya. Padahal segala kesusahan, peperangan, korupsi, kebatilan,
pengrusakan bumi antar manusya sendiri rasanya disampingkan begitu saja karena
terbius dengan konsep kemuliaan manusya yang tidak jelas keberadaannya.


Baik Vedanta maupun
Al-quran, atau Smriti maupun Sruti jelas-jelas memposisikan berbagai fauna dan
flora sebagai penunjang vital kehidupan manusya itu sendiri. Tanpa bumi maka
Panca Bhutam dan fauna flora manusya tidak mungkin eksis, toh kita malahan sering
merasa amat superior dibandingkan dari mahluk-mahluk lain, dan tidak segan-segan
mengorbankan mahluk-mahluk ini demi ego dan hasrat-hasrat kita yang tidak pernah
terpuaskan.


Banyak yang merasa
terhina bahkan ragu-ragu kalau ditegur bahwasanya semua ciptaan di dunia ini
sebenarnya saling menunjang dan sama mulia dan derajatnya di mata Sang Pemelihara
Alam (Prajapati). Sayangnya lagi sebagian kaum spiritualis kita gemar mecaru
atas nama agama bahkan “memperdagangkan” upacara-upacara ini tanpa
memikirkan akibat karma-karma buruk mereka sendiri karena terkena oleh konsep-konsep
yang tidak masuk akal. Kalau sebagian kaum pendeta kita masih hidup di zaman
Rig Weda, maka kaum intelektual Barat dan Timur telah memulai pelestarian alam
dengan berbagai inisiatif-inisiatif modern, termasuk eks wakil Presiden USA
AL GORE, yang konon akan diangkat menjadi Penasehat Khusus Lingkungan Hidup
Presiden USA yang baru yaitu OBAMA. Akhir-akhir ini mass media Barat sering
melaporkan studi-studi ilmiah yang menyatakan bahwasanya ikan paus yang banyak
diburu Jepang dan berbagai jenis tanaman-tanaman khusus ternyata memiliki kesamaan-kesamaan
yang amat mirip dengan manusya. Bahkan dikatakan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan
dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Hindu Dharma telah lama menegaskan
hal ini semenjak ribuan tahun yang lalu.


Raja Vikramajit (dikenal
sebagai Sulaiman atau Solomon di Timur Tengah) adalah pakar bahasa yang dapat
berkomunikasi dan memahami bahasa-bahasa segala fauna dan flora, demikian juga
Raja Parikesit. Kembali ke para peneliti modern , mereka juga menemukan bahwasanya
ada tumbuh-tumbuhan yang saling mengirimkan signal-signal ke teman-temannya
pada saat bahaya, ada yang bahkan sanggup mengeluarkan racun-racun tertentu
demi pertahanan diri. Cara berkomunikasi mereka konon menggunakan gelombang-gelombang
(elektromagnetik) radio kata para ahli-ahli ini.


Tidak asing lagi
kalau kita merawat ternak sapi ataupun bunga-bungaan dengan musik dan sentuhan
– sentuhan tangan bahkan dengan bicara lemah lembut, hasilnya susu makin
banyak, hewan makin jinak dan kooperatif dan tanaman-tanaman berbunga dan berbuah
lebat, Menurut beberapa nara sumber (ahli-ahli spiritual) dan penelitian barat,
ada jenis-jenis tanaman tertentu yang mampu menstransfer energi positif dan
spiritual ke manusya. Kita umat dharma kenal akan keampuhan pohon Beringin,
Boodhi, Tulasi dan Sirih dan berbagai aroma therapi dari bunga-bunga yang wangi
seperti mawar, melati, sandat, cempaka dst yang juga amat ampuh sebagai sarana
spiritual penghantar aura-aura yang positif bagi sekitarnya, namun pepohonannya
sendiri ternyata memiliki prana yang amat kuat bagi sekitarnya.


Mahluk-mahluk yang
selama hidupnya berguna dilahirkan kembali sebagai manusya-manusya atau mahluk-mahluk
yang berguna juga pada kelahiran-kelahiran berikutnya, demikian juga sebaliknya
(sesuai teori karma dan reinkarnasi yang kita fahami selama ini). Namun kalau
dievaluasi secara cermat

ternyata kelahiran sebagai flora fauna belum tentu merupakan hukuman, namun
lebih bersifat pembelajaran sekaligus pemanfaatan demi lestarinya bumi dan isinya.
Semua ciptaan di bumi ini saling menunjang, kalau benar demikian maka Sang Pencipta
adalah benar-benar Maha Pengasih, dan bumi maha pelestari semua ciptaan-ciptaanNya
secara sistematis dengan perhitungan yang amat cermat.


Bhagawat-Gita dan
berbagai Sastra-shastra Widhi lainnya mengatakan bahwasanya di dunia ini semua
mahluk menyiratkan hidup dan mati secara berulang-ulang, dan proses ini berkesinambungan
tanpa dapat dibendung oleh siapapun juga : “Wahai Arjuna, berbagai mahluk-mahluk
yang berlimpah – ruah ini pergi secara terus menerus, lahir dan lahir
lagi tanpa daya, dan terserap lagi menjelang tibanya malam Sang Brahma, dan
lagi pada pagi harinya Sang Brahma, mahluk-mahluk yang berlimpah ruah ini mengalir
keluar lagi (ber-reinkarnasi).”

Bhagawat Gita VIII – sloka19




Jadi sepertinya ada persamaan persepsi antara Barat dan Timur bahwasanya tidak
ada yang baru di semesta dan bumi ini. Reinkarnasi adalah sebuah rekayasa proses
untaian perputaran dan daur ulang yang amat canggih yang amat bermanfaat bagi
semua ciptaan termasuk manusia dan sekelilingnya, bukan hanya untuk manusia
saja (sistimatis alami).

Menurut Hwee-Yong Jang, (asal Korea Selatan) seorang ahli spiritual yang mampu
melihat masa depan nasib bumi dan manusya, maka bumi sebenarnya adalah sebuah
wahana besar yang menampung berbagai reinkarnasi-reinkarnasi dari loka-loka
yang lain selama jutaan tahun. Bumi sekaligus adalah tempat pembelajaran terakhir
bagi mahluk-mahluk luar angkasa yang dilahirkan sebagai manusya dan mahluk-mahluk
maha- ragam, manusya diberikan kemampuan berpikir dan bertindak bebas namun
hal tersebut mungkin juga berlaku bagi fauna, flora, batu-batuan, dsb. Konon
Beliau berkata (sesuai dengan wahyu-wahyu dan penampakan-penampakan yang didapatkannya
dari mahluk-mahluk angkasa luar yang berdimensi empat ke atas) bahwasanya jutaan
tahun yang lalu sewaktu bumi pertama-tama diciptakan dalam bentuk materi seperti
saat ini, maka para mahluk-mahluk luar bumi yang ingin bermigrasi ke bumi telah
diberikan berbagai pilihan. Mereka pada era itu diperbolehkan menjadi manusya,
fauna, flora atau bentuk-bentuk lainnya, namun disesuaikan dengan frekwensi
dan kapasitas minimum dan maksimumnya masing-masing (Satya Yuga). Bukan kah
kisah Mandara Giri menyiratkan hal yang sama?


Namun dengan berlalunya
sang waktu jutaan tahun kemudian, lambat laun telah terjadi perubahan-perubahan
yang drastis dimana, para mahluk secara perlahan tidak dapat mengingat lagi
masa-masa lalunya karena mengalami berbagai evolusi dan degradasi!


Bentuk-bentuk “primitif”
mengalami perubahan, keterampilan meningkat namun dengan semua perubahan-perubahan
ini manusyapun lalu bersikap tidak adil dan mengenaskan terhadap mahluk-mahluk
lain yang dianggapnya lebih inferior dari dirinya. Tetapi sistim (alam) alami
hukum - karma (hukum timbal balik universal) menuntut tanggung jawab dari manusya.
Di era Rig Weda misalnya sudah ada pembantaian binatang ternak sebagai pengorbanan
yang dianggap malahan mengangkat derajat hidup hewan-hewan bantaian tersebut
ke masa-masa kehidupan yang akan datang.


Namun pada akhir
era itu juga dan selanjutnya kita membaca adanya pengorbanan dalam bentuk pemberian
ternak dalam jumlah ribuan oleh raja-raja kepada para resi-resi agar dikembang-biakkan
demi pelestariaanya dan dibudidayakan manfaat susunya bagi masyarakat umumnya.
Pada akhir peperangan Mahabrata diadakan upacara Aswa Medha, yang konon katanya
mengorbankan jutaan ternak yang dibantai demi upacara tersebut. Namun setelah
itu Sri Krishna mendeklarasikan hadirnya Kaliyuga dan tidak akan ada pengorbanan
massal itu lagi di dunia ini.


Kembali ke pembantaian
jutaan hewan maka hewan-hewan ini dikembalikan lagi hidupnya sebagai manusya,
namun di dalam diri mereka ternyata hadir unsur-unsur balas dendam. Hilang lalu
keinginan untuk bereinkarnasi secara bebas,

tergantikan dengan reinkarnasi berdasarkan hukum karma. Itulah sebabnya kita
tidak mengenal istilah hukum karma di sebagian Weda-weda, tetapi teori ini baru
muncul di era Upanishad dan dipertegas di Bhagawat-Gita. Timbullah kemudian
sistim reinkarnasi yang multi kompleks dan membingungkan. Manusya dan para mahluk
sudah tidak dapat memilih lagi untuk dilahirkan sebagai apa yang dimauinya tetapi
langsung terseret oleh karma-karmanya sendiri yang kemudian diatur sistim alam
dan dilahirkan kembali melalui proses “balas-membalas” hidup-pun
lalu jadi menakutkan dan mengerikan seperti yang kita alami dewasa ini (peperangan,
penyakit yang mematikan, bencana dsb yang seakan-akan makin memuncak dengan
memuncaknya jumlah umat manusya di bumi ini), dan terakhir dengan pemanasan
global yang sedang menjurus ke pralaya.


Penelitian spiritual
juga sering sekali menemukan adanya frekwensi-frekwensi rendah pada manusya
dan sebaliknya terdeteksi juga frekwensi-frekwensi tinggi pada sebagian hewan
contoh ikan paus, pengquin, kura-kura, anjing, kucing, lumba-lumba, semut, lebah
dsb. Namun pada saat ini hanya manusya yang mayoritas mendapatkan kesadaran
spiritual melalui proses pembelajaran, mahluk-mahluk lain ditingkatkan frekquensi
spiritualnya melalui kelahiran sebagai manusya secara berulang-ulang!


Flora dan fauna yang
belum terbentuk sebagai manusya hanya dapat menunggu dengan kesabaran dan toleransi
dari manusya-manusya yang tersadarkan agar merekapun dapat dilahirkan sebagai
manusya yang beradab dan berpikir kemanusiaan.


Diantara manusya-manusya
yang tersadarkan, hanya sedikit sekali yang memiliki frekwensi spiritual yang
tinggi, dan jenis manusya ini dianggap”tidak waras dan melenceng”
oleh masyarakat pada umumnya yang memiliki frekwensi spiritual rata-rata saja.
Jangankan kaum spiritualis, Socrates, Einstein, Newton saja dianggap tidak waras,
ada yang malah dipenggal karena mengajarkan kebenaran dan teori perputaran bumi
versus matahari. Namun konon ada suatu saat lagi menurut kaum spiritualis ini,
dimana sebagian besar manusya yang tersisa dari pralaya akan menyadari betapa
mahluk-mahluk di bumi sebenarnya sederajat dengan manusya itu sendiri, karena
merupakan mata rantai kehidupan yang berkesinambungan secara sistematis (Bhagawat-Gita).


Pada saat ini sebagian
besar manusya masih gemar menyantap mahluk-mahluk lain, merusak habitat dan
hutan-hutan demi pemuasan ekonomi, ego, dan nafsu-nafsunya sendiri, peperangan
antar manusya itu sendiri adalah salah satu faktor ego yang tidak

terpuaskan yang merupakan lingkaran karma yang tidak pernah putus-putus.


Di tengah manusya
yang kacau balau ini lahir juga reinkarnasi-reinkarnasi agung (Awatara) yang
menurut para peneliti adalah mahluk-mahluk superior dengan dimensi ke empat
bahkan ke lima. Manusya-manusya super ini mampu melakukan berbagai keajaiban
dengan cara-cara yang tidak masuk akal para saintis. Di dunia ini rekayasa spiritual
ini sering disebut sebagai “pekerjaan iblis” oleh kaum tertentu
yang merasa dirinya benar di jalan Tuhan yang dianutnya, padahal iblis dan Tuhan
itu sendiri masih sulit dijabarkan wujud-wujudnya oleh mereka sendiri, yang
terjebak pada frekwensi-frekwensi spiritual yang rendah. (manusya adalah ciptaan
dalam wujud tiga dimensi).


Jadi tidak mengherankan
jika ditengah-tengah kita hadir manusya-manusya jenius superior secara sains
maupun spiritual, karena dimensi-dimensi yang lebih tinggi di alam ini mengatur
pola gerak dan hidup dimensi-dimensi yang lebih rendah. Perhatikan ciri-ciri
kaum suci, resi dan para nabi-nabi, mereka semua memiliki ciri yang hampir sama
baik dalam cara, pola berpikir, maupun berperilaku, rata-rata mereka tidak seperti
manusya-manusya pada umumnya. Pada masa Satya - Yuga semua manusya, fauna dan
flora berprilaku seperti itu, dan saat ini masih hadir juga hewan dan tumbuh-tumbuhan
dengan frekwensi-frekwensi tinggi, kalau tidak sudah lama bumi ini punah!


Kalau anda pada suatu
saat menemukan seseorang atau suatu peristiwa gaib maupun spiritual, hal tersebut
belum tentu kebetulan. Tetapi “pribadi” yang lebih tinggi frekwensinya
ini ingin menyampaikan “pesan” tertentu bagi persiapan masa depan
spiritual anda sendiri, manusya atau mahluk agung ini kemudian akan menghilang
setelah tugasnya untuk anda selesai.


Konsentrasi dan pemfokusan
pikiran, doa-doa dan puja-puji yang positif adalah salah satu kekuatan (energi)
prana yang dapat kita pakai untuk menghubungi dewa-dewa atau mahluk-mahluk dengan
frekwensi-frekwensi tertentu. Namun saya tidak akan pernah menganjurkan hal
ini, karena bagi saya lebih baik “dihubungi” daripada “menghubungi”
yang dapat salah sasaran dan menghasilkan visualisasi yang menakutkan. Konsentrasi
dan puja-puja ke Sang pencipta dalam wujud apapun adalah yang terbaik menurut
penelitian saya secara pribadi, dan tanpa pamrih akan menghasilkan sesuatu yang
menakjubkan


tanpa diminta, tetapi
jangan lalu masuk ke Siddhi (prilaku penuh pamrih yang berarti tersesat).


Hindari Agni Hotra
yang berlebih-lebihan dan mahal plus dan penuh pamrih tanpa tujuan-tujuan yang
jelas, hindari mantram-mantram untuk memperoleh anti bala, hujan dan demi ilmu
hitam, karena ada hukum karma-karmanya masing-masing. Apapun “manfaat
atau mudaratnya”, besar atau kecil, semua harus dibayar tuntas sekarang
atau nanti, tidak ada yang gratis di dunia, tidak juga hidup ini dengan segala
ekses-eksesnya!


Dengan selalu mendoakan
semua mahluk maka akan dihasilkan korelasi positif, aman dan nyaman dengan alam
dan segala isinya. Om Sarwam Bhutam Mangalam (semoga seluruh ciptaan sejahtera).
Om Shanti Shanti Shanti Om.



Mohan M.S

Cisarua, Shanti Griya Ganesha Pooja

22 – 2 - 09

Sabtu, 08 Agustus 2009

TRI GUNAS

“Ketiga sifat-sifat
alami yaitu Sattvas (baik dan suci), Rajas (antara baik dan buruk), Tamas (kekotoran,
keburukan) lahir dari Prakirti (ilusi maya nan duniawi), mereka bertiga mengikat
erat-erat Sang Atman (Yang Tidak Terbinasakan) yang bersemayam di dalam raga”.




Bhagawat Gita XIV, sloka 5



Sering para sishya maupun rekan-rekan baik dari golongan Dharma maupun agama-agama
lain bertanya apakah di Hindu Dharma ada fatwa-fatwa haram, halal dsb? Saya
jawab “Tidak ada! Yang ada adalah keterangan-keterangan sifat-sifat alami
yang disebut Sattva, Rajas dan Tamas, seperti yang diuraikan Bhagawat –
Gita di bab XIV,” namun keterangan-keterangan ini harus dijadikan patokan
dan pedoman untuk umat sedharma dalam berprilaku sehari-hari termasuk merokok,
berjudi, menipu dst. Semua pedoman dikembalikan melalui proses pembelajaran
diri, bhisama atau fatwa memang diperlukan! Tetapi tanpa pembelajaran dan kesadaran
masing-masing semua terasa hampa dan sia-sia. Toh pedoman harus dimulai dari
para pendeta yang berjubah putih-suci, bukan dari yang sehari-hari menonton
perilaku mereka.


Sabda sahabatku Pedanda
Sebali: “PHDI belum perlu ikut-ikutan latah melarang merokok, Triguna
saja umat kita belum faham,” proses pembelajarannya mungkin sedang berjalan
“slow but sure”.


Tanpa pengetahuan
akan faham-faham Triguna, maka umat kita dan turunannya mungkin masih harus
siap bersahabat dengan judi, penyakit-penyakit yang mematikan seperti hipertensi,
TBC, jantung, diabetes, dsb. Apa yang dapat dibanggakan seorang Hindu kalau
berpenyakitan? Kalau raga saja sakit-sakitan apa mungkin jiwanya sehat? Maka
hadirlah upacara-upacara non sattvik seperti pembantaian hewan, tajen, berjudi,
tawuran antar warga dan umat, dan semua itu akibat dari “pembodohan agama
yang berkepanjangan!”


Sesuai sabda-sabda
Sri Khrisna kepada Rsi Abhiyasa (Wiyasa) yang tertuang sebagai dialog antara
Krishna-Arjuna, maka ketiga gunas ini lahir dari Prakirti yaitu rekayasa materi-dunia
Nya yang memang dihadirkan dominan di dalam diri kita masing-masing. Seandainya
sifat-sifat ini diberdayakan secara positif, maka hasilnya loka-loka yang menakjubkan,
seandainya dipergunakan secara negatif maka si pelaku melaju ke neraka atau
kehidupan-kehidupan yang lebih merana. Di atas kedua upaya itu, sabda Krishna,
barang siapa mampu melewati ketiga guna ini, akan mendapatkan “Air abadi
dan penyatuan dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa)”.


Apakah Sattva itu?
Konon sattva dikategorikan sebagai unsur-unsur kesucian dan kemurnian atau pencerahan
kearah spiritual yang bersangkutan. Namun walau disebut-sebut kemurnian toh,
sifat ini dapat mengikat diri kita kearah kebodohan (awidya) dan “ego
yang positif “ yang malah menjerat diri kita sendiri, Penyucian diri yang
berlebih-lebihan merubah seorang tersebut menjadi ortodok (fanatik dan melajulah
ia ke dalam siddhi (kesesatan akibat kesaktian dan salah persepsi), Semua ini
lalu membuat seorang itu terikat erat pada perilaku kebaikan-kebaikannya tetapi
tidak membuatnya berorientasi kepada Yang Maha Esa secara murni, padahal sifat
dasar mereka ini seharusnya sattvik (suci, bersih), demikian uraian almarhum
resi T.L Vaswani.

Contohnya di dunia Barat, terdapat banyak ilmuwan-ilmuwan hebat dengan prilaku
sattvik, tetapi tujuan hidup dan riset-riset mereka hanya terpusat pada ilmunya
saja secara ilmiah. Konsep Tuhan spiritual tidak ada dalam benak mereka. Sebaliknya
di Timur ilmu - pengetahuan adalah anugrahNya yang tidak terbatas, jadi masih
banyak manusya-manusya sattvik melepaskan ikatan-ikatan dunia, materi dsb untuk
“back to basic” mencari penerangan Ilahi (Bhagawatam). Mereka-mereka
yang non pamrih ini oleh guru resi T.L Vaswani disebut mulia karena unsur-unsur
sattvik bagi mereka hanyalah sekedar alat-alat belaka bukan masalah apalagi
harus terikat.

Sedangkan sifat rajas adalah pancaran dari energi, dinamisme, mobilitas, yang
berarti berjuang penuh dengan rasa ingin tahu akan hidup dan pelaksanaan hidup
ini, namun sering jatuhnya malah tidak pernah terpuaskan dengan segala aktivitas
dan hasil-hasilnya. Dengan kata lain rajas yang tidak terkendali adalah anak
dari nafsu-nafsu kita sendiri. Akhirnya jiwa-raga terikat erat-erat ke Sang
Prakirti! Konon rajas pada seseorang dapat ditandai oleh kegelisahan internal
dan eksternal. Sifat-sifat amat aktif, ambisius, demi pemuasan ego, nafsu, hasrat
duniawinya, menunjukkan rajas sedang dominan dalam dirinya.

Sebenarnya ia mungkin saja orang baik dan bertanggung jawab bagi diri dan lingkungannya,
namun ia lupa tujuan kerja keras adalah untuk dan demi Sang Pencipta, bukan
untuk kekurangan-kekurangannya: ambisi pribadi, dan tujuan-tujuan ego yang positif
atau negatif. Namun kalau dinamisme dan keuletan rajasnya diolah tanpa pamrih
maka segala usaha-usahanya berubah menjadi yagna (pengorbanan spiritual bagi
YME), ia tidak memerlukan agni hotra, dsb lagi! Hotranya adalah diri dan nafsu-nafsunya
yang terkendali tanpa pamrih. Sebaliknya sifat-sifat tamas (kekotoran) bukanlah
energi positif tetapi cenderung menjadi energi negatif yang berpolusi tinggi
bagi diri dan sekitarnya, tamas jauh dari kebersihan jiwa-raga apalagi kesucian.
Tamas aktif sekali dengan sifat-sifat kemalasan, ilusi-ilusi kosong dan awidya
yang berkepanjangan! Inilah kuasa tamas pada diri seseorang yang jelas terikat
erat erat.

Sering sekali mereka-mereka yang berada di bawah kendali tamas berprilaku ibarat
binatang-binatang buas yang kelaparan, ia memenuhi hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu
dengan segala cara. Ia malas berfikir dan bertindak secara positif, acuh tak
acuh dan destruktif pada diri dan sekitarnya. Toh, Yang Maha Pengasih masih
membuka jalan baginya kearah yang baik., melalui upaya-upaya dharma - bakti
dan untuk itu diperlukan mereka-mereka yang bergelar satvik, resi, pedanda,
juga pandita, bhujangga, pemangku dsb untuk menuntun mereka secara aktif (rajas)
plus terarah positif (satvas). Gabungan kedua unsur ini yaitu dinamika dan kesucian
pasti akan menghasilkan sesuatu yang positif. Untuk itu harus dimulai dengan
bhisama-bhisama satvik sebagai pedoman dan lalu ditambah proses pembelajaran
yang aktif demi lestarinya dharma itu sendiri. Bukankah Sang Surya menerangi
dan Sang Bayu bertiup juga di antara rerumputan liar dan semak belukar yang
berada di bawah pepohonan besar?

Lupakanlah pahala-pahala satvas dan rajas, berfokuslah ke bumi jangan ke sorga
- neraka yang entah hadir dimana? Kuasailah dan fahami cara-cara kerja sattvas,
rajas dan tamas, dari guru-guru spiritual yang handal, agar dapat melihat dengan
jelas, benar dan secara realitas. Ini disebut logika duniawi dan spiritual sekaligus.
Orang yang sadar ini akan masuk ke suatu dimensi yang lain, kata Krishna, yaitu
lepas dari kematian, kehidupan, usia tua, penderitaan dsb karena telah meneguk
(“air kehidupan”) yang abadi (widya dalam amerta). Bagi seseorang
yang semacam ini ke tiga gunas hanyalah jembatan kearah pancaran kasih Yang
Maha Esa, ia yang sudah “menyebrangi” jembatan-jembatan ini (ketiga
gunas), malahan mampu mengendalikan segala “spare-parts” sang jembatan,
karena telah menyatu dan memahami cara-cara kerja sang jembatan!

Konon guru selanjutnya berwacana, bahwasanya manusya agung yang telah tersadarkan
ini berubah menjadi “majikan” yang mampu menguasai bahkan memperalat
sifat-sifat alam ini, tanda-tanda dan ciri-cirinya adalah :

1. Ia bersifat sama rata kepada semua sifat-sifat gunas baik yang hadir di dalam
dirinya sendiri maupun di dalam orang-orang lain. 2. Ia tidak terusik oleh efek
dan dampak-dampak karma baik maupun buruk diri sendiri dan orang-orang lain.


3. Baginya setiap unsur dsb adalah sama saja, ia bersikap sama rata kepada suka-duka,
panas-dingin, teman-musuh, penghormatan-penghinaan, cinta-benci, dsb. Emas atau
loyang sama saja baginya, sama-sama ciptaan sederajat dari Sang Pencipta tidak
ada yang lebih mulia atau lebih hina (baca Bhagawat-Gita)

4. Ambisi tidak lagi eksis dalam dirinya, setiap pekerjaannya telah terlebur
sebagai dharma-bhakti ke Yang Maha Esa, kadar dan mutunya juga sama saja, tidak
ada pendosa atau yang agung, yang ada hanya Dia Semata dan segala ciptaan-ciptaanNya
dan berbagai improvasi dan nada-nadaNya.


Lalu apa saja upaya-upaya
seseorang agar dapat melampaui ke tiga gunas ini dan menyatu denganNya? Konon
guru bersabda lakukanlah pengabdian-pengabdian terus menerus tanpa henti dan
tanpa pamrih, mengabdilah padaNya dengan kasih-nan-tulus, bukan melalui “business
of God”, dan lambat laun dikau akan larut menjadi nol (0) kecil yang melebur
ke nol besar. Proses ini disebut Atma-Swarupa, bersatunya secara identik Sang
Jiwa dengan Sang Pemilik Jiwa (Atman-Brahman).

“Karena Akulah tempat bersemayam Sang Brahman, Air Kehidupan Abadi yang
tidak pernah ada habis-habisnya, Akulah fondasi dari Kebenaran nan abadi dan
sumber dari Anugrah-nan-tanpa akhir”.

(Bhagawat – Gita XIV, sloka 27)

Yang Maha Pencipta, disebut apa juga nama dan asal-usulnya adalah Keabadian
itu sendiri, Dharma dan Sang Dharma itu sendiri, dan Wara Nugraha yang tidak
pernah berakhir, tidak sekarang tidak juga nanti, Ia adalah Berkah Nan Hakiki.
Om Shanti Shanti Om. Om Tat Sat.



Mohan M.S

di ShantiGriya Ganesha Pooja,

Cisarua


Sabtu, 01 Agustus 2009

SEMESTA BERSANGGAMA

Dharma mengajarkan bahwasanya manusya berasal dari leluhur yang disebut para
dewata, sains modern mulai meneliti adakah kaitan manusya dengan manusya, atau
mahluk-mahluk angkasa luar. Tubuh manusya ternyata adalah sebuah perpustakaan,
ibarat chip computer kecil yang memuat gen-gen semesta, sebuah rahasya yang
sedang menguak! Seperti apakah jati diri dan hakekat manusya di bumi dan peranannya
di semesta raya yang maha luas nan tidak terbatas ini?


Sejauh ini seksualitas masih tabu dibicarakan apalagi dimaknai secara spiritual
oleh kaum-kaum agamis tertentu yang terjebak dalam nilai-nilai dosa, kemunafikan
dan “kebodohan” ragawinya sendiri, padahal seksualitas adalah warisan
para dewata, leluhur umat manusya yang menghuni semesta jagat raya. Seksualitas
bukanlah keping-keping pornography murahan dan vulgar, namun adalah intisari
kehidupan Bhagawatam (Ilahi) yang diwariskan dari masa ke masa, dari mahluk
ke mahluk, dari fauna ke fauna, dan dari flora ke flora. Semesta raya bersanggama
dalam ritus-ritus Ketuhanan Yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta tanpa harus terliput
dosa-dosa dan noda-noda.




Sebuah arca Ganeshya terdapat di candi Hoysala di India Selatan (abad 12), Arca
ini menggambarkan secara Tantrik mistri seksualitas, Sri Gajanana yang kuat
ini, yang melambangkan kedashyatan energi seksual semesta dan manusya. Belalainya
melambangkan keperkasaan sebuah lingga (phalus) dan mulutnya yang terbuka lebar
melambangkan yoni (vagina), perpaduan antara pria-wanita, purusha dan prakriti
baik secara skala maupun niskala. Semua upacara Hindu di India dimulai dengan
puja-puji dan mantram-mantram ke Ganeshya dahulu baru ke dewata-dewata lain,
aneh Tri-sandhya kita malah tidak menyebutnya sama sekali, dan kita pun sering
“tersesat” ke dalam awidya, padahal Negara Indonesia dengan jumlah
penduduk Islam terbesar di dunia meletakkan lambang dewa widya ini di ITB, IPB
dan uang pecahan Rp 20.000 (lama), bahkan seorang SBY sekalipun amat menghormatinya
dengan memulai awal-awal kampanyenya di Sasana Ganeshya di Bandung, Jawa-Barat
untuk apa kalau bukan untuk sebuah kesuksesannya.


Ganeshya sebagai lambang spiritual, widya dan seksualitas adalah hasil sinergi
dari Tri-murti dan Trishakti, yaitu pasangan Brahma-Saraswati, Shiwa-Kali dan
Wishnu-Lakshmi.

Brahma-Saraswati memancarkan kehidupan, kelahiran dan kreativitas. Shiwa-Kali
melambangkan transendental spiritual, kematian (daur ulang), Wishnu-Lakshmi
adalah Pengayom dan Pemelihara kehidupan ini.

Tahukah anda ketiga prinsip-prinsip utama yang menyatu dalam Ganeshya ini disebut-sebut
para ahli sebagai prinsip-prinsip konsep anthropomorphic, dan ketiga unsur kelahiran,
pemeliharaan dan daur ulang kehidupan ini jelas-jelas terserap ke ajaran-ajaran
lain seperti Buddhisme, Taoisme, Nasrani dan memuncak pada Islam yang melambangkan
seksualitas spiritual dalam bentuk Kabalistik, yang sudah dimulai sebelum Judaisme
dan Nabi Ibrahim hadir di kawasan Timur-Tengah, tidak dapat dipungkiri Ka’abah
adalah wujud bangunan Lingga-Yoni terbesar di dunia semenjak zaman Paganisme
sampai saat ini, Nabi Muhamad S.a.w melestarikannya sesuai wahyu-wahyu yang
didapatkannya dari Allah Subhanawatallah. Dengan kata lain pemujaan ke Lingga-yoni
lambang seksualitas suci masih dilakukan dalam agama Islam dengan puncak ritual
yang disebut Haj (naik Haji), manusya-manusya berpradakshina 7 kali memutari
Ka’abah dengan memakai Ikhram putih-putih, dari jarak ketinggian terlihat
sebagai sperma sperma putih yang mengelilingi lingga dan yoni ini. Pada awal-awal
kehidupan perpaduan pria-wanita yang menghasilkan kelahiran adalah nilai-nilai
tertinggi yang dipuja manusya, sesuai dengan perilaku semesta yang bersanggama
menyatu, setiap saat.

Artikel ini ditujukan kepada setiap insan dharmais agar sadar bahwasanya seksualitas
adalah anugrah alam yang menakjubkan, bukan sekedar ilusi-ilusi bohong UUD pornography
yang malahan melecehkan anugrah yang maha tinggi ini yaitu inti sari dari pada
kehidupan ini, yang sering sekali salah disikapi. Selama hadir Bunda Pertiwi,
maka akan hadir juga seksualitas sebagai penerus generasi-generasi berbagai
ciptaan-ciptaanNya. Seksualitas berasal dari semesta, dan menunjang balik ke
semesta itu sendiri melalui proses regenerasi. Untuk itu alam menambahkannya
dengan gairah, nafsu dan makna-makna rahasya yang sering disalah gunakan oleh
manusya yang tidak dapat memahaminya dengan selera spiritual dan widya yang
terkendali.

Padahal setiap sanggama mahluk apapun juga apalagi manusya adalah penerusan
dari sanggamanya para leluhur kita, yaitu para dewata. Setiap sperma yang dipancarkan
dan setiap sel-sel ovary (indung telur) mengandung cahaya-cahaya misterius yang
dapat anda saksikan melalui mikroskop. Sanggama antara pasangan adalah medan
magnet yang sakral dan berdaya harmonis atau sebaliknya dapat merusak dengan
potensi yang amat tinggi. Tinggal manusya menentukan seksualitas, akan kebablasan
atau akan dilestarikan (perang antara dewata dan asuras) berlangsung terus di
dalam diri ini.

Pada tahap-tahap spiritual tertinggi, pasangan suami istri bahkan tidak perlu
menyentuh satu dengan yang lain. Cukup dengan prana (medan magnet tubuh-halus)
masing-masing dapat memuaskan secara lahir dan bathin, (tidak perlu menjadi
tua terlebih dahulu), yang penting dan utama adalah landasan kasih dan spiritual
yang memayungi dan memagarinya.



Salah satu aspek terpenting dan terindah, yang mempesona dan mengikat manusya
adalah anugrah seksualitas, bahkan semua ciptaan-ciptaan di semesta raya ini
bersanggama dalam kasih satu dengan yang lain melalui sentuhan-sentuhan Prema
(Kasih Ilahi = Kasih Bhagawatam). Kalau Sang pencipta tidak mengasihi kita dan
seluruh ciptaan-ciptaannya, maka Ia tidak disebut Yang Maha Pengasih, dan tidak
ada kasih tanpa seksualitas spiritual di dalamnya. Dengan kata lain Hyang Widhi
Wasa adalah juga Maha Prema.

Para leluhur umat Dharmais sangat bertanggung jawab akan nilai-nilai seksualitas
antar pasangan, Weda-weda, Upanishads, Bhagawat Gita, Kamasutra, Garbha widya,
dan Tantraisme penuh dengan rambu-rambu ketat agar kita tidak bersetubuh secara
serampangan dan nafsu-nafsu liar harus dijinakkan melalui lembaga vivaha (kemenangan),
melalui upaya-upaya yoga, meditasi dan vegetarianisme, melalui pemujaan-pemujaan
sakral dan bermakna kepada simbol-simbol lingga-yoni yang adalah Simbol-simbol
Purusha dan Prakriti.

Seksualitas-spiritual yang terkendali secara prima dapat menghasilkan sebuah
bentuk-bentuk pengalaman-pengalaman seksual secara multidimensional. Itulah
sebabnya di masa-masa lalu sanggama pasangan suami istri diatur pada hari senin
(harinya Shiwa) dan kamis (harinya shakti Durga), yang diawali puasa-puasa ringan,
upacara meditasi dan puja bersama-sama suami istri dan pada masa-masa lalu ejakulasi
dini maupun orgasme wanita yang tertunda bukan masalah, karena tubuh manusya
begitu kuat sehingga dalam semalam sanggama dapat belangsung berkali-kali penuh
gairah seksualitas tinggi yang terkendali apik, dan indah, harmonis dan romantis.
Pasangan suami istri tidak perlu gagah atau cantik, yang vital adalah teknik-teknik
Kamasutra, mantram-mantram dan pemahaman akan betapa indahnya seksualitas, dan
betapa menakjubkan makna-maknanya. Jurus-jurusnya: hormatilah tubuhmu, hormatilah
tubuh pasangannmu, beraktivitas seksual harus dilandasi “suka sama suka”,
bukan karena terpaksa!

Karena energi seksual adalah energi kehidupan ini, setiap pria dan wanita adalah
reinkarnasi agung dari para leluhur dewa dewi yang jumlahnya tak terjabarkan,
kita semua adalah perwujudan dewa-dewi ini, kita semua ciptaan adalah bagian-bagian
dari semesta dan penunjang-penunjangNya. Dia Yang Maha Seksualitas adalah sumber
dari berbagai medan magnet seksualitas dalam bentuk-bentuk purusha (unsur-unsur
positif) dan prakriti unsur-unsur negatif yang selaras, tanpa dualitas ini tidak
ada sanggama (pertemuan) apapun juga. Perhatikan kata sanggama (sanggam) yang
berarti pertemuan dua kutub yang sakral, penuh dengan kehidupan yang lestari
bagi semua dan sesama secara harmonis.

Seksualitas semesta menghadirkan rekayasa genetika (blue-print, cetak-biru)
dalam jiwa raga kita secara sistematis dan alami, ini adalah mahakarya alam
yang belum difahami sebagian amat besar umat manusya, tetapi mulai tersibak
dalam sains modern. Seluruh sistem karma dan reinkarnasi tertata secara rapi
dalam tubuh kita tanpa dapat dapat diganggu gugat, dari satu kelahiran ke kekelahiran
yang lain. Bhagawat Gita dan Upanishads menyatakan secara tegas bahwasanya seluruh
memori-memori dibawa mati untuk dipacu ulang pada masa kelahiran-kelahiran berikutnya,
dan ini bukan teori tetapi kenyataan-kenyataan yang mengagumkan. Penelitian
penelitian dan film-film Barat mulai menguak dunia ini perlahan tapi pasti.
Reinkarnasi dan hukum karma secara pasti eksis, walaupun disebut-sebut dengan
nama-nama yang berbeda-beda dalam setiap ajaran agama-agama maupun spiritual,
hanya makna dan keterangannya yang sering kabur karena tidak disertai widya
(pengetahuan) yang memadai dan selaras, sesuai zaman dan latar belakang kebudayaannya
dan teknologi masa kini.

Orgasme adalah pancaran energi yang amat menyehatkan, seks yang aktif ternyata
amat menyehatkan, mengurangi stress dan sakit-sakit kepala, menambah gairah
kerja dan spiritual sekaligus menjauhkan manusya dari kanker rahim, payudara,
dan prostat, kesemuanya lalu menunjang usia tua yang sehat bugar. Leluhur membuktikannya
dengan anak-anak yang banyak sampai masa tua; pada masa lalu beranak 20 masih
disebut wajar-wajar saja, dan hal itu menunjukkan betapa perkasanya pasangan-pasangan
suami istri yang setia dan aktif sampai tua. Semua berkat ajaran Ayur weda,
yoga, meditasi, ajaran-ajaran Tantra dan Kamasutra yang berpayung pada landasan-landasan
Dharma yang agung.

Orgasme spiritual berbeda dengan orgasme/ejakulasi ragawi. Menurut Tantraisme,
setiap kali seorang pria berejakulasi maka “oja” (prana + seksual
energi) akan berkurang, namun hal ini masih tanda tanya karena orgasme di sisi
lain amat menyehatkan. Dalam yoga dan upaya-upaya meditasi Tantra, terdapat
berbagai teknik-teknik (biasanya di Astanga-yoga) untuk menahan keluarnya sperma,
hal ini dalam kurun waktu yang lama kalau dipratekkan secara teratur dapat menghasilkan
kesaktian-kesaktian dan energi-energi tertentu. Namun Ramayana menunjukkan betapa
Rahwana yang ekstrim tapa-bratanya lalu lepas kendali perilaku seksualnya setelah
melihat kemolekan Dewi Shinta. Di lain sisi Shiwa dan resi Viswamantra langsung
keluar spermanya begitu lepas dari tapa ribuan tahun, karena tidak tahan melihat
paha molek nan seksi para betari. Jadi sebenarnya pemahaman upaya dan hasrat
seksual tidaklah bermanfaat kalau jalan pikirannya malah liar dalam perzinahan.


Sebaiknya pujalah seksualitas sebagai anugrah Sang Pencipta yang harus dimaknai
setiap sisinya. Eksporasilah jiwa dan raga ini secara sensual dan bermartabat,
penuh hikmah-hikmah yang terkendali, jadikan cinta-kasih sebagai landasan sesuai
hukum-hukum alam yang penuh rasa sayang pada seluruh ciptaan-ciptaanNya, di
planet bumi ini.

Seperti halnya di semesta raya, setiap momen adalah seksualitas, raga kita dan
semua mahluk memang direkayasa untuk berevolusi melalui sensualitas dan seksualitas.
Bukalah mata dengan memandang dan memaknai semesta, isinya dan berbagai perilakunya.
Pada saat yang sama, tutuplah matamu, menerawanglah ke dalam relung-relung dan
rongga-rongga sanubarimu, dan kita akan menemukan rahasya-rahasya Kundalini
yang akan bangkit secara alami bagi setiap insan yang mampu menyelaraskan setiap
sel, setiap ion-ion tubuh dan setiap tarikan keluar-masuk nafasnya (pranayama).


Kebangkitan awal dari Kundalini (energi-energi vital, chakras-chakras energi
seksualitas) dapat menghasilkan siddhi (kekuatan dan persepsi sesat dan menyimpang)
atau widdhi (pengetahuan akan makna-makna kehidupan dan semesta ini) dan kuncinya
adalah seksualitas yang selaras dengan upaya-upaya spiritual. Berbahagialah
akan potensi-potensi seksualitas (kundalini), ia terbangkitkan menjadi mata
ketiga bukan karena ulah guru-guru yoga yang mengaku sakti, tetapi melalui upaya-upaya
selaras dari dirimu yang sarat akan keseimbangan spiritual dan seksualitas,
antara keselarasan purusha dan prakriti, antara lingga dan yoni. Inilah pesan-pesan
yang tersirat dalam arca-arca lingga-yoni, Trimurti dan Trishakti. Upacara terbesarnya
malahan terjadi di Mecca setiap tahun tanpa ada yang sadar akan makna-makna
yang sebenarnya yang telah terkandung pada zaman pra-Islam. Om Shanti-Shanti-Shanti
Om.


Mohan m.s Cisarua Juni-Juli 2009


Welcome !


Om Swastiastu!
Welcome to Shantigriya Ganesha Pooja's new website !